Pramono Anung Terapkan Pajak 10% untuk Olahraga Padel
Dalam pernyataan resmi pada awal Juli 2025, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung memutuskan untuk menerapkan pajak sebesar 10% untuk olahraga padel di Indonesia. Keputusan ini menuai pro dan kontra, mengingat padel masih merupakan olahraga yang tergolong baru dan segmented di Tanah Air. Namun, Pramono berargumen bahwa mayoritas pemain padel adalah kalangan atas yang memiliki kemampuan finansial tinggi, sehingga penerapan pajak dianggap wajar.
Olahraga padel sendiri mulai populer di kota-kota besar seperti Jakarta, Bali, dan Surabaya. Biaya keanggotaan, sewa lapangan, dan perlengkapannya memang tidak murah. Bahkan, dalam beberapa klub eksklusif, tarif bisa mencapai jutaan rupiah per bulan. Melihat tren ini, pemerintah menilai olahraga ini memiliki potensi pemasukan negara dari sektor PPN atau pajak barang dan jasa non-primer.
Meski begitu, banyak pelaku industri olahraga yang mengkritik keputusan ini. Mereka menilai bahwa padel justru sedang berkembang dan pajak tersebut bisa menghambat pertumbuhan. Ada juga kekhawatiran bahwa pemberlakuan pajak bisa memperlebar jurang akses masyarakat terhadap jenis olahraga tertentu.
Alasan Pajak Diterapkan Khusus untuk Padel
1. Profil Pemain yang Dianggap Mewah
Dalam penjelasan resminya, Pramono menyebut bahwa padel adalah olahraga yang “tidak inklusif secara ekonomi.” Dalam konteks ini, pemerintah menilai bahwa fasilitas padel hanya bisa diakses oleh kalangan masyarakat menengah ke atas. Pemerintah ingin menyasar potensi pajak dari aktivitas leisure yang tergolong mewah, salah satunya padel. Pendekatan ini mirip dengan pajak hiburan mewah seperti golf, balap mobil, atau jet ski.
Sementara itu, dari data Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), lebih dari 80% lapangan padel berada di klub-klub olahraga premium dan resor. Harga sewa per jamnya bisa mencapai Rp400.000 hingga Rp1.000.000 tergantung lokasi. Hal ini dianggap sebagai alasan kuat untuk mengenakan pungutan pajak baru, tanpa membebani masyarakat luas.
Keputusan ini bukan tanpa dasar. Pajak 10% diambil dari model tarif PPN umum, namun khusus untuk kategori gaya hidup premium. Dalam waktu dekat, Kementerian Keuangan akan merumuskan implementasi teknisnya, termasuk mekanisme pembayaran oleh pengelola lapangan dan penyewaan.
2. Proyeksi Pendapatan Negara dari Pajak Padel
Dari sisi fiskal, pemerintah melihat peluang untuk menambah pemasukan negara dari sektor olahraga rekreatif. Dalam setahun terakhir, setidaknya ada lebih dari 80 fasilitas padel baru yang dibangun, dan jumlah pemain aktif terus bertambah. Dengan tarif sewa tinggi dan perputaran uang dalam industri ini, pajak 10% bisa menghasilkan miliaran rupiah per tahun.
Kementerian Keuangan memperkirakan potensi pemasukan hingga Rp75 miliar per tahun jika tren padel terus berkembang. Bahkan jika industri ini tumbuh 2─3 kali lipat dalam lima tahun, nilai itu bisa lebih tinggi lagi. Menurut Pramono, pajak ini tidak hanya relevan secara ekonomi, tetapi juga menjadi bentuk redistribusi fiskal yang adil.
Namun, banyak pihak mempertanyakan efektivitasnya, mengingat industri padel masih muda. Apakah layak diberi beban fiskal ketika infrastruktur dan minat masyarakat belum sepenuhnya mapan? Ini masih jadi perdebatan panjang.
3. Reaksi Pelaku Industri dan Komunitas Padel
Asosiasi Padel Indonesia (API) langsung menyampaikan keberatan resmi atas kebijakan ini. Mereka menilai bahwa pemerintah terlalu cepat menetapkan pajak, tanpa memberikan ruang pada komunitas untuk berkembang secara organik. Menurut API, olahraga ini baru mulai populer dan masih butuh banyak insentif.
Beberapa pengelola lapangan juga mengaku khawatir bahwa pajak ini akan menurunkan minat bermain. Apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, masyarakat cenderung menekan pengeluaran non-penting seperti olahraga rekreasi.
Sementara itu, di media sosial, muncul beragam komentar. Ada yang mendukung keputusan Pramono karena menganggap pajak ini adil, tapi tak sedikit pula yang menilai keputusan ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap olahraga modern. Banyak yang membandingkan padel dengan olahraga populer lainnya seperti basket atau tenis yang tidak dikenai pajak serupa.
Potensi Dampak terhadap Industri Olahraga di Indonesia
Bagaimana Kebijakan Ini Bisa Pengaruhi Olahraga Lain?
Jika kebijakan ini sukses diterapkan, bukan tidak mungkin pemerintah akan memberlakukan pendekatan serupa pada olahraga lain yang dianggap “elit”. Misalnya seperti squash, berkuda, hingga golf mini. Hal ini bisa menciptakan tren baru dalam penarikan pajak berbasis segmen gaya hidup.
Namun, ini bisa jadi preseden berbahaya jika tak diiringi pemahaman menyeluruh terhadap ekosistem olahraga. Olahraga bukan hanya soal hobi, tapi juga kesehatan dan gaya hidup aktif. Apalagi jika pajak tersebut justru menekan pertumbuhan olahraga baru yang sedang naik daun.
Apakah Pajak Ini Bisa Direvisi?
Pramono Anung menyatakan bahwa pemerintah tetap membuka ruang diskusi. Jika memang terbukti memberatkan atau menghambat industri padel secara signifikan, regulasi bisa direvisi. Namun, untuk saat ini, kebijakan akan tetap berjalan dan mulai berlaku per 1 Agustus 2025.
Pajak Padel Antara Strategi Fiskal dan Potensi Hambatan
Kebijakan pajak olahraga padel sebesar 10% yang ditetapkan Pramono Anung ini merupakan langkah berani yang bisa memperkuat pendapatan negara, namun juga berpotensi menghambat pertumbuhan olahraga baru. Meski padel identik dengan kalangan berada, banyak yang berharap olahraga ini bisa lebih inklusif.
Penting bagi pemerintah untuk terus memantau dampaknya dalam 6─12 bulan ke depan, dan tetap terbuka terhadap evaluasi. Jika tidak, langkah fiskal ini bisa kontraproduktif terhadap visi Indonesia sebagai negara dengan masyarakat aktif, sehat, dan gemar berolahraga.