📌 Pemilu Serentak 2029: Isu Penyederhanaan Pilkada Kembali Mengemuka
Tahun politik makin dekat, wacana panas mulai bergulir.
Salah satunya: Pemilu Serentak 2029 yang direncanakan bakal membawa skema penyederhanaan Pilkada.
Pemerintah & DPR sedang godok revisi UU Pilkada.
Idenya: kepala daerah tingkat provinsi dipilih DPRD, sedangkan bupati & wali kota tetap lewat Pilkada langsung.
Alasannya, biar hemat anggaran & efisiensi birokrasi.
Tapi wacana ini langsung menuai pro-kontra.
Sebagian mendukung demi stabilitas politik & hemat biaya, sebagian lagi menilai ini mundur dari semangat demokrasi langsung & otonomi daerah.
📌 Pro-Kontra Penyederhanaan Sistem Pilkada
Pendukung gagasan ini berargumen, biaya Pilkada serentak sangat besar.
Anggaran keamanan, logistik, sampai kampanye habis triliunan rupiah.
Belum lagi risiko konflik horizontal & polarisasi antarpendukung.
Selain itu, mereka menilai Pilkada lewat DPRD bisa menguatkan peran partai politik & mendorong akuntabilitas wakil rakyat di daerah.
Namun, penolakan juga keras.
Banyak akademisi & aktivis demokrasi menilai cara ini berpotensi memperlemah suara rakyat.
Sebab, kepala daerah dipilih elite politik, rawan lobi-lobi, & korupsi politik makin subur.
Isu otonomi daerah juga jadi sorotan.
Banyak daerah merasa punya hak memilih kepala daerah secara langsung sebagai wujud desentralisasi.
📌 Apa Dampaknya untuk Pemilu Serentak 2029?
Kalau revisi UU disahkan, Pemilu Serentak 2029 bakal jadi sejarah baru.
Satu sisi, sistem bisa lebih ringkas & beban APBN berkurang signifikan.
Di sisi lain, bisa memicu ketidakpuasan publik, terutama di daerah yang merasa kehilangan hak pilih langsung.
Beberapa lembaga survei menunjukkan mayoritas publik masih mendukung Pilkada langsung.
Artinya, kalau wacana ini dipaksakan, potensi gelombang penolakan bisa muncul jelang Pemilu.
Pakar politik menilai, kompromi diperlukan.
Misalnya, pengetatan syarat calon kepala daerah, edukasi politik rakyat, & pengawasan DPRD diperkuat.
Bagaimanapun, Pemilu Serentak 2029 akan jadi ajang penentu arah demokrasi Indonesia ke depan.
Apakah makin efisien, atau justru mundur beberapa langkah?